NALAR




"Tuhan, tolong jauhi saya dari yang tidak baik."
Begitulah kira-kira isi doa saya selama 4 bulan terakhir ini. Begitupun sebaliknya. Saya juga berdoa, kalo memang saya tidak baik bagi orang lain, tolong jauhi saya dari orang tersebut. Kasihan kalau jadi ikutan tidak baik. 

Baik atau tidak memang selalu subjektif dimata manusia. Seperti halnya kebenaran. Hal yang dianggap benar tidak pernah mutlak objektif. Sekumpulan banyak orang yang sepakat mengatakan dan mempercayai kebenaran belum tentu seketika menghilangkan kemajemukan pendapat tentang hal yang dianggap benar tersebut. Lantas, yang manusia bisa lakukan adalah mencoba menjadi kritis untuk dapat dianggap berargumen lumayan netral atau berpikir agak-lumayan objektif. Mengumpulkan bukti juga menjadi acuan pendukung hipotesa dalam meyakini sebuah kebenaran. 

Namun, kebenaran memiliki sisi lain. Kebenaran bisa berasal dari sebuah kepercayaan yang membudaya. Pengaruh berbagai macam hal terhadap seseorang sangatlah mendasari pandangan dan kepercayaan manusia dan pilihannya atas kebenaran. Misalnya saja, lingkungan tempat dimana kita dibesarkan atau pendidikan yang kita tekuni. Bisa saja buku yang kita baca dan beberapa paham yang memiliki korelasi dengan pengalaman yang kita alami. Atau, apapun yang dikatakan dapat menjadi acuan dari pandangan kita terhadap sebuah kebenaran. Tidak menutup kemungkinan akan frekuensi penerapan pemahaman yang terus menerus juga mempengaruhi sikap dan cara berpikir seseorang. Jadi, katakanlah saya percaya bahwa kebenaran itu memiliki sisi lain yang mempengaruhinya.

Lantas, beberapa orang berusaha memperjuangkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Menanamkan paham-paham yang mereka percayai dan menurut mereka, mereka pahami keberadaannya, kedalam isi kepala orang-orang lain untuk tujuan mendapatkan pengakuan bahwa hal tersebut adalah benar. 

Njelimet-nya realita mengenai manusia yang memang sudah kodratnya untuk hidup dengan banyak perihal kompleks. Keberadaan sinonim dan antonim membuat lumrah adanya pro dan kontra. Adanya perbedaan pula yang akhirnya dipercayai sebagian besar manusia, Tuhan punya andil dalam keadilan yang dialami manusia. Bahkan, usaha untuk mencoba menyeragamkan rupa pikiran dalam tiap manusia memiliki pro-kontra tersendiri. 

Pada akhirnya, banyak manusia memilih untuk mengambil alternatif ketuhanan sebagai jalan tengah mengakhiri perdebatan tersebut. "Sudah takdir Tuhan" atau "Tuhan pasti punya cerita lain", begitu cara paling aman dan cepat mengakhiri perseteruan antara pro dan kontra. Bahkan, keberadaan akan kepercayaan atas ketuhanan dan dikotominya pun juga sibuk diperdebatkan oleh beberapa manusia. Manusia, si paling sibuk berdebat. Katakanlah demikian.

Dan, pada akhirnya, ialah saya. Saya menjadi manusia yang segan untuk memberi konfirmasi pada segelintir pendapat. Mungkin saya tidak sendiri. Mungkin beberapa orang memiliki pribadi seperti saya. Saya tidak pernah berharap beberapa humanis untuk percaya atas apa yang saya percaya. Atau, saya juga tidak lantas melakukan konfrontasi terhadap hal-hal yang menggerecoki paham yang saya percaya. Saya juga enggan untuk dianggap berjuang meraih keadilan untuk diri saya sendiri. Bahkan hal tersebut juga tidak sedikit pendapat kontra dan dukungan. Menganggap hal tersebut adalah ketidak pedulian dan pesimistis yang destruktif. Atau, singkatnya payah. 

"Tuhan, tolong jauhi saya dari yang tidak baik."

Pada akhirnya pula manusia membutuhkan sesuatu yang ia percayai. Mungkin bukan Tuhan, mungkin semesta. Mungkin bukan hal yang ghoib, mungkin waktu dan perputarannya. Katakanlah saya termasuk orang yang menggantungkan kata-kata yang menari jumawa dalam secarik harapan dan mimpi bernama doa kepada hal yang saya sebut Tuhan. Namun, saya juga percaya tentang keberadaan waktu dan perputarannya. Keberadaan semesta dan kekuatan manusia yang mampu menciptakan kenyataan atas dirinya berdasarkan apa yang berulang kali dipikirkan dan dipercayainya. Percayalah, hal tersebut bukan berarti membuat saya menjadi orang yang ketergantungan untuk mengeluh. Saya hanya percaya pada harapan dan saya tidak pernah punya keinginanan menanamkan pemahaman apapun kepada siapapun.

"Tuhan, tolong jauhi saya dari yang tidak baik" terdengar seperti motivasi dan regulasi untuk diri saya sendiri. Terdengar bagi saya seperti, "Saya harus menjauhi semua hal yang tidak baik, meskipun saya belum dapat menterjemahkan secara pasti apa saja yang baik dan tidak baik yang akan terjadi. Setidaknya saya percaya pada naluri yang mampu menyeimbangkan kepala dan hati untuk dapat berjalan dengan arah yang memberi kebaikan untuk saya."

Karena dengan bercakap dalam doa, membuat saya merasa lebih waras dibanding bicara monolog pada cermin atau menangis dibawah shower selama 2 jam. Karena budaya berdoa sebagai sarana dalam berharap yang sudah menjadi tradisi manusiawi dan duniawi membuat saya merasa lebih aman bercerita dalam hening dan tidak merasa dihakimi. Karena saya percaya apa yang tiap generasi katakan mengenai budaya berdoa. Karena berdoa, memberikan garis tipis yang berarti antara mimpi dan harapan.


Akhirnya, saya dan nalar yang saya pahami mengenai kebenaran dan kepercayaan menjadikan sel-sel pada tubuh saya setidaknya bekerja pada fungsinya. 


Comments

Popular Posts