BANTAL

Kasur ini begitu luas. Bahkan kaki-kaki kita mampu tenggelam dalam lebarnya selimut yang menutupi sebagian besar luas kasur ini. Kasurnya seperti mengikuti suhu tubuh kita. Mendingin ketika kita berpeluh keringat, namun menghangat ketika kita berpelukan karena kedinginan. Terkadang kasur ini terasa begitu nyaman hingga kita lupa untuk bermimpi, namun juga terkadang kasur ini berpasir karena masing-masing dari kita lupa untuk cuci kaki sebelum tidur. 

Tetapi permasalahannya adalah, dengan kasur sebesar ini, kita hanya memiliki sebuah bantal. Bantal yang hanya mampu kita nikmati dengan cara berbagi. Bantal yang dapat saja tergantikan dengan bahumu, bagi kepalaku. Namun terkadang, saya tidak sanggup membuat bahumu letih menopang kepala saya. Kita harus berbagi bantal. Mungkin dengan dua kepala dalam sebuah bantal, kita mampu berbagi mimpi. Kita bisa lebih mendekatkan wajah kita dan saling menatap lebih dekat, sehingga wajah kita masing-masinglah yang memenuhi seisi pandangan mata kita. Kita mampu merasakan hangatnya udara yang keluar dari rongga hidung masing-masing. Kita bisa saling mendengar dengkuran halus ketika terlelap. 

Mungkin.

Namun, kepalamu terlalu besar. Bahkan bantal ini terasa begitu kecil. Saya tentu saja sudah pasti tersingkir. Bantal ini menjadi begitu mungil. Bantal ini selalu membuat kita getir. Mungkin kita membutuhkan bantal yang ukurannya lebih besar, atau mungkin saya perlu membantumu untuk mengicilkan kepalamu sedikit saja. Namun selalu sulit bagi kita menyelesaikan masalah kepala dan bantal.


Mungkin saya haharus menyerah. Mungkin saya harus mengalah. Mungkin juga memang saya sudah pasti kalah. Mungkin dan mungkin. Karena segalanya tidak mampu saya lawan. Karena semuanya hanyalah sebatas kemungkinan. Karena kamu tidak pernah berusaha untuk mewujudkan.



Pada akhirmya saya memilih untuk terjaga sepanjang malam. Menikmati melihatmu menelusuri mimpi. Mendengarkan dengan nikmat dengkuran halus yang mengiringimu selama memenjamkan mata. Mengusap bulu halus diatas matamu dan mengecupnya ketika kamu terlihat seperti sedang menjalani bagian buruk pada mimpimu. Meyakinkanmu secara tidak terdengar, bahwa saya selalu menemanimu.



Lantas, saya selalu lelah setiap pagi datang. Setiap hari. Saya selalu berusaha menatap matahari dengan kantuk yang meluap. Saya menghapus keringat dengan mata lelah. Bahkan terlalu lelah untuk menetskan air mata.



Seandainya saja bantal ini bisa lebih besar dan luas. Mungkin pagi ini saya masih bersamamu.



Mungkin.

PERGI


Hari ini saya pulang kerumah kita dengan gontai. Bukan karena saya kehilangan tenaga karena terus dipermainkan oleh penatnya jalanan Jakarta. Namun karena kelelahan mengahadapi diri saya sendiri. Menghadapi diri saya yang selalu tulus ketika bersamamu. Menghadapi diri saya yang selalu menggapaimu yang semakin tak terhingga. Saya pernah jatuh cinta denganmu. Jatuh cinta hingga saya lupa membuka mata dan terbangun untuk melangkah melanjutkan hidup. Jatuh cinta yang membuat hari-hari seolah selalu bermimpi. Namun pada kenyataanya, manusia bermimpi adalah wujud dari terlelap yang lupa nyenyak. Bermimpi pada dasarnya melelahkan. Otak menjadi enggan beristirahat karena terus menerus memutar film bernama mimpi. Lantas manusiapun terbangun dengan lelah.

Dunia kini dalam hidup saya berbeda. Terasa lain dari sebelumnya. Hidup saya tidak lagi seperti sebelum bersamamu. Saya kehilangan diri saya sendiri. Saya tersesat. Saya seperti berlari kedalam hutan yang tak berpenghuni. Semak belukar selalu melukai kaki saya kemanapun saya melangkah. Saya kerap tergelincir dan meciptakan luka-luka kecil yang semakin lama terkumpul menjadi puluhan luka. Menerobos lari dibawah teriknya matahari dan basahnya air hujan yang mengguyur. Ketakutan akan binatang buas yang mengintai, yang dengan seketika mampu menerkam saya, melumat hngga tidak bersisa nyawa. Ketakutan akan gelap yang selalu saja begitu hening dan senyap. Tidak berhenti berfikir mengenai jalan keluar dan bagaimana caranya harus bertahan hidup.

Malam ini saya pulang dengan perasaan hampa menggeluti seluruh relung. Saya selalu mencoba merasakan tiap lelah yang kamu rasakan. Saya selalu mencoba menelusuri jalan pikiranmu hingga bermuara entah kemana. Saya berusaha selalu tidak membuatmu merasa kesepian. Saya jatuh cinta dengamu. Seperti ketaatan pada ketuhanan yang tidak etis diragukan atau dipertanyakan. Namun malam ini, menginjak rumah ini sudah tidak lagi sama. Terlalu sering kekecewaan masuk beriringan. Terlalu banyak harapan tertimbun yang tidak sempat terwujud. Namamu selalu ada pada setiapan pengharapanku pada doa terhadap Tuhan. Tuhan seperti sedang membisikanku sesuatu.

Pergi.

Tuhan membisikannya lagi berulang kali. Saya seperti tidak pernah bosan mendengarkanNya berbisik hal yang sama berulang ulang. Namun, membuat saya kerap berpikir tentang bagaimana dan kapan.

Saya jatuh cinta denganmu. Mencintai dari ketidak sengajaan hingga tak tebatas. Mencitamu dengan seribu pengharapan tentang bahagia. Jatuh cinta selalu membuat saya terlihat seperti manusia bodoh. Berulang kali melakukan kesalah yang sama tanpa belajar dan berubah. Begitulah mencitaimu. Indah namun bodoh.

Sekarang adalah bagian tersulitnya. Saya harus segera bangun dari mimpi dan bergegas mengejar kenyataan yang menumpuk menunggu untuk diselesaikan. Saya harus berhenti mencintai dan memulai untuk menikmati diri sendiri. Lagi.

Comments

Popular Posts