PENARI

Deru ombak semakin melarutkan isi kepala saya menjadi tak terhingga. Angin bahkan menjadi begitu bising terdengar mengitari seisi pikiran. Ratusan harapan yang kerap menjadi wacana menguap entah kemana. Matahari yang terbenam terus membujuk saya untuk mengangkat pantat lantas pergi meninggalkan bulir pasir yang berkumpul disela-sela jari kaki. Mata saya memeluk erat selayang pandang yang terbentang namun dada saya bergumul menolak untuk terpikat dan merayu agar menyegerakan diri untuk beranjak.

"Ibu, aku mau jadi penari."

Kata-kata itu kerap muncul di kepala saya, sembari membayangkan kaki-kaki mungil yang menari jumawa teriring musik yang menggelitik telinga. Membayangkan lentiknya jemari yang bergerak seirama dengan tubuh yang meliuk. Mengagumi keindahan rangkaian gerakan pencipta harmoni yang mempesona para penikmat. Saya selalu bermimpi menjadi seorang penari. Seorang penari yang mampu membuat terang bulan bersinar sempurna ketika saya berlanggak-lenggok menari dibawahnya. Seorang penari yang mampu memberhentikan waktu sejenak dan membuat mereka terkesima. Seorang penari yang membuat para penikmatnya jatuh hati dan selalu ingin kembali.

Terhitung detik yang tak terhingga untuk saya bisa memahami kemana kaki ini harus berputar atau jemari yang harus menari. Jutaan mata dan ratusan pujian bersenandung acap kali tubuh meliuk bermanja dengan iringan musik yang menderu. Dan, ketika sorak sorai serta merta menyeruak ke seisi ruangan, ada hasrat tak terucap yang terpuaskan dari keterpukauan mereka. Mereka bilang saya ini pemikat pentas. Mereka bilang saya penyempurna hari yang terlanjur terjadi. Lantas, saya selalu mengkategorikan mereka menjadi 3; Penikmat, Pemuja dan Kamu.

Penikmat selalu punya segudang alasan untuk datang kepertunjukan. Jenuh dan penasaran adalah bagian tak terelakan dari begitu banyaknya alasan. Menatap seisi panggung dengan harapan akan kepuasan pada mata yang tak berkedip. Penikmat menuntut untuk dapat menikmati hal nikmat yang disajikan. Padu padan gerak tari dan iringan senandung mencoba menggapai harapan-harapan para penikmat merajuk meminta mereka untuk segera datang kembali. Namun, penikmat dari apa yang mereka sebut pemikat tidak selalu berjanji akan kembali. Mereka selalu berhak datang dan pergi sesuka hati. Mereka tidak pernah ada hati untuk memiliki. Mereka mudah terpikat lantas lalai untuk memuja, seperti layaknya sang pemuja.

Lantas, hadirlah mereka sang pemuja. Tak semua pemuja adalah penikmat. Segala yang berujung pemujaan tidak berarti mengawalinya dengan menikmati. Pemuja punya kekuatan untuk bermimpi dan merindu yang tak terbatas. Pemuja acap kali mampu menyunggingkan senyum simpul para pemikat yang mencoba merentas mimpi para penikmat. Pemuja memiliki doa setajam pedang yang mampu membunuh dalam sekali menghunus. Pemuja mendengar lebih merdu dari telinga awam, melihat lebih indah dari kasat mata dan berani memikirkan lebih liar dari pikiran yang pernah ada. Saya pengagum pemuja yang mengagumi para pujaannya. Bahkan ucapan sang pemuja terdengar lebih indah dari gubahan karya pujangga.

Dan, ada Kamu.

Kamu adalah penikmat yang berakhir dengan pemujaan tak terhingga. Kamu adalah ksatria penangkap mimpi dari pemikat yang tak berhenti memikat hati para penikmatnya. Kamu datang dengan menenggelamkan kecewa dan menguntai mimpi baru yang terasa lebih indah dari mimpi sebelumnya. Kamu adalah perentas duka ketika malam tak lagi berpihak pada kehangatan. Kamu lebih dari sekedar memuja. Kamu jauh dari sekedar penikmat. Kamu faham arti menikmati kenikmatan yang sesungguhnya nikmat. Kamu jauh dari angan yang saya sempat torehkan disudut mimpi kala fajar nyaris menyingsing. Namun, saya tahu, kamu ada. Meski entah dimana.


Comments

Popular Posts