PEMIMPI YANG KURANG TIDUR



Apa tidak membuang-buang waktu?

Sesekali kau pernah bertanya tentang mengapa aku begitu menyukai membaca. Berada dalam posisi yang sama selama beberapa waktu yang cukup lama. Sesekali menyeruput segelas minuman dingin atau mengunyah makanan yang mungkin saja mengacuhkan rasa. Tenggelam cukup lama dalam hening. Beberapa kali mengernyitkan dahi, menyipitkan mata, mengerutkan alis, membulatkan mulut atau menyimpulkan senyum kecil. 

Aku begitu menyukai menyelami hubunganku dengan buku. Seperti mencoba masuk kedalam dunia yang belum pernah melintas dikepalaku. Menikmati cara penulis menggelitik imaji dengan tarian jumawa dari tiap kata yang kubaca. Menikmati cara penulis melempar cerita dan membebaskanku menangkap makna. Makna yang melingkar di dalam isi kepala yang tak akan pernah kudengar sedikitpun kritik pedas dari sang penulis karena salah menangkap maknanya. Makna yang tidak pernah terhakimi. Seperti berjalan dengan sepatu yang berbeda. Awalnya terasa kurang begitu nyaman, tetapi nantinya akan terbiasa dan bahkan akhirnya mampu dipahami nikmatnya. Sepertinya sang penulis hendak bertukar cerita dengan apa yang kualami lewat keheningan, lewat rangkaian huruf yang beriring dan bermuara pada kebebasanku memilih perasaan seperti apa yang ingin kuhadirkan. 
Apa kau tidak merasa terlalu banyak bermimpi?

Lagi-lagi kau bertanya tentang mengapa aku begitu menikmati cerita fiksi. Rasanya seperti lamunan siang hari. Berkhayal tanpa juntrungan. Pupil mataku selalu terlihat membesar dan mengecil sembari bergumam kecil yang terdengar seperti berbisik. 

Khayalan membuatku merasa bebas. Dunia dalam kepalaku tak terbatasi. Aku bisa berlari tak kenal lelah atau mengarungi laut melewati perbatasannya dengan langit. Aku bisa menemui peri dan bidadari yang bercengkrama diujung pelangi acapkali hujan nyaris berhenti atau mendengarkan nyanyian penduduk kerajaan Hades yang berubah menjadi jangkrik karena kemurahan hati Pluto. Aku bisa menikmati tubuhku berpeluh derai hujan yang lebat. Hujan yang turun akibat raja-raja di langit menumpahkan anggurnya ketika berpesta pora. Dan sekali lagi, tak ada seorang pun yang menghakimi.

Aku masih ingat bagaimana rasanya pertama kali jatuh hati padamu. Ketika itu malam penuh dengan butiran cahaya. Seperti permata yang berkilau pada permadani malam. Ombak berlomba menyentuh pasir yang berebut bermain dikaki telanjangku yang menari kecil. Teriring tawa renyah yang tak henti dari gurauan yang entah apa. Bulan mengintip dua anak manusia yang mengukir cerita bahagia malam itu. Lantas cinta menyapaku ketika fajar di ufuk langit mengembara dalam cerita kebersamaanku denganmu.  "Aku bahagia", tukasku dalam hati.

Mengarungi bahagia dalam imaji yang berbeda, menurutku adalah hal yang lumrah. Namun ketika dua imaji terlahir berbeda dari cara menikmati yang berbeda pula, membuatku merasa jauh darimu. Anggaplah aku begitu naif percaya suatu ketika kau dan aku bisa mengitari Jupiter melewati origin. Anggaplah aku begitu bodoh mempercayai bahwa bersamamu, aku bisa seperti Kaliope, Erato, Talia.. atau Terspikore, Klio.. Euterpe, Urania.. atau Melpomene atau Polymnia. Sembilan Dewi Musae yang didalam hati mereka tiada ada tempat bagi kesedihan. Celakanya harapanku adalah delusional mungil yang sekejap menghilang seperti asap rokok yang sering dihembuskan setelah kau hisap.

Mungkin sudah terlalu lama aku berteman dengan penangkap mimpi. Mungkin aku memang terlahir sebagai pemimpi. Entahlah. Kau selalu bilang kalau aku perlu tidur. Si pemimpi yang kurang tidur. Supaya aku bisa terbangun dan memahami realita yang kau suguhkan.


Katamu.










Comments

Popular Posts