MIERDA

Perempuan itu mengingatkanmu pada Helsinki di bulan Oktober. Begitu dingin hingga terasa menguliti tubuhmu. Mungkin lebih tepatnya seperti pengidap Pneumonia yang berujung Septikemia dan Abses. Membuatmu sulit bernafas, meriang dan terasa nyeri pada tiap persendian. 

"Jooooooder! Por qué no te callas?!"

Kau tak tahu apa yang ia teriakan padamu. Yang kau tahu, perempuan itu membentakmu. Karena, seperti yang kau tahu, ia memang begitu membencimu karena terlalu sering meracau tentangnya. Kau bahkan tak tahu apa yang ia bicarakan dengan bahasa yang ia gunakan. Tapi kamu terlalu bersikeras untuk menjatuhkannya. Lebih tepatnya, membuatnya jatuh kepelukanmu. 

POR COLO!

Kau pikir itu panggilan mesranya padamu. Menurutmu, mungkin maksudnya adalah Colombus. Atau, apapun yang berhubungan dengan Colombia. Ya, kau (lagi-lagi) berdelusi. Perempuan itu selalu menghalangi pandanganmu kemanapun kau melangkah. Membuatmu seperti Menelaus yang kehilangan Helena. Selalu merasa dapat mengembalikan apa yang telah hilang ditelan waktu. 

Sayangnya, kau hanyalah manusia diantara para Titan. Berlayar sekian tahun tidak lantas membuat pengalaman menaikan drajatmu di kapal. Kau tidak akan pernah menjadi kapten kapal dengan berbekal sertifikat dan paspor Syria. Menjadi imigran dan diterima di negri para Viking saja harusnya sudah cukup kau sukuri. Meskipun hanya bekerja sebagai pembersih kapal di Stockholm dan Gothenburg. 

Menyenangkan sekali menjadi negara yang tidak pernah dijajah, pikirmu. Menjadi negara kerajaan selama 1 milenium dan salah satu negara terdamai di dunia. Negara yang terlalu bersih, sampai-sampai harus mengimpor sampah dari negara lain di Eropa. Dan, katakanlah, Dalahast adalah salah satu favoritmu tentang negri ini.

Berbeda dengan tempatmu berasal, Republik Arab Syria. Perang saudara yang melibatkan banyak intervensi internasional membuatmu kehilangan banyak harapan. Kau besar di perbatasan antara wijayah pendukung oposisi dengan federasi Syria utara. Bermigrasi tidak selalu membuatmu merasa lebih beruntung dari banyak saudaramu yang sedang berusaha tidur nyenyak di Damaskus dan Allepo. Menjadi imigran dengan paspor asal negara perang membuat label pengungsi melekat erat ditubuhmu. Bahkan membutuhkan lebih dari rasa manusiawi untuk dapat diterima. Sayangnya, kau hanya berbahasa Persia dan cukup bodoh dalam menulis bahasa Inggris. Kau hanya menjadi pengungsi luntang-lantung yang tak jelas nasibnya di negri manapun.

Setiap kau melihat perempuan itu, jantungmu berdegup kencang. Kau bermimpi seandainya saja kau hidup di jaman Mansa Musa 1 dan berasal dari kerajaan Mali. Kau sudah pasti akan menghujani perempuan cantik itu dengan emas yang seharga garam. Membuatnya terpesona dengan kemewahan dan kesejahteraan dari tempatmu berasal. Menjadi muslim yang kaya raya dan tersohor karena kebaikan hatinya adalah hal yang sungguh diimpikan banyak pengungsi muslim di Eropa. Namun, kau sadar kalau kau hanya sibuk bermimpi.

Berapa kali lagi kau harus bermimpi dan terbangun dengan keringat dingin dan kepala seperti mau pecah? Berapa lama lagi dunia berpihak kepadamu? Berapa tahun lagi nasibmu akan bergantung pada media yang bicara kemanusiaan dan kedamaian?

Entahlah. 



Comments

Popular Posts