CERMIN YANG BISA BERBICARA

"Saya tahu, tidak semudah itu memperbaiki. Meskipun tidak 100% kerusakan dibuat oleh saya." 

"Ah, persetan dengan persentase. Kau terdengar terlalu membela diri jika bicara mengenai porsi."

"Saya tahu. Saya minta maaf. Saya pun juga enggan mengutarakan sebab musababnya."

"Nah."

"Kalau gitu, saya pergi dulu."

"Loh? Saya belum selesai mencerca dan menghardikmu. Sampai saya puas. Paham?"

"Lalu, semuanya bisa diperbaiki?"

"Ya, belum tentu. Mungkin sampai saya merasa bersalah karena fakta baru atau... Karena rasa manusiawi saya yang menganggap perlakuan saya cukup berlebihan. Itu pun kalau saja perasaan itu muncul, loh ya. Jadi, katakanlah... Belum tentu"

"Hanya membuatmu puas saja?"

"Tentu saja. Serahkan pada waktu saja. Biar waktu yang memperbaiki, atau... mungkin malah memperburuk."

"..."

"Ya... Inilah manusia. Bahkan jauh dari mampu untuk memaafkan dan mengampuni. Untuk mengerti saja enggan. Merasa yang ter- dan paling, lantas yang kesalahan orang lain adalah yang ter- dan paling. Itu kodrat."

"Itu hanya ego."

"Ego yang membudidaya. Pengakuan atas pembelaan dari kumpulan kepala. Ya, paling mudah menjelaskannya dengan cara yang diluar nalar namun dipercaya jutaan umat manusia. Kodrat."

"Dengar, siapapun itu yang ada dibalik cermin itu. Berhentilah berbicara. Kepalaku sudah penuh dengan kata-kata"

"..."




Comments

Popular Posts