Saya Dan Kamu







Kalau nanti waktu kembali mempertemukan saya dan kamu, saya pastikan itu akan kembali lagi berkali-kali. Seperti yang sudah-sudah dan tak pernah berkesudahan. Tak ada guna kecuali nikmat berpeluh. Karena bahkan lidah yang menyatu belum tentu menautkan jalan cerita yang sama. Karena keberanian belum tentu melanggengkan kebiasaan. Karena saya dan kamu sepertinya lebih menyenangi mengunci rapat-rapat keberanian demi takutnya kehilangan.

Ketika saja nanti, gravitasi tak lagi membuat saya dan kamu memiliki alasan yang sama untuk berpijak. Saya meyakini masing-masing dari saya dan kamu masih hanya akan mendengar nafas sendiri. Mendengarkan secara diam-diam degup jantung yang berdentum tak berirama. Mengumpulkan puluhan distraksi masuk akal yang membuat saya dan kamu berhenti untuk meneruskan. Melewatkan beberapa kesempatan untuk sekedar mengecup kening, lantas memilih untuk menuntaskan desah.

Senja berwarna magenta belum tentu tak berujung mencumbui kelabu. Nyatanya, hujan kerap membuat sebagian orang ketakutan akan gagalnya rencana mereka. Baiknya berteduh atau gunakan payung jika terdesak ingin buru-buru sampai. Mungkin air hujan atau genangan air sudah pasti akan membasahi, sedikit. Tapi, tenang. Mantel ini terlalu tebal. Air hujan tidak mungkin sempat menyentuh kulit, karena akan selalu meninggalkan lembab sebelum akhirnya menguap. Karena saya dan kamu tahu, bermandikan hujan hanya berhenti sampai menari. Jikapun sampai, pasti akan terlihat payah.

Namun, hujan tak selalu membuat saya dan kamu payah. Hujan selalu punya cerita sendiri. Seperti cerita tentang manusia yang lupa mengucap syukur kepada Zeus akan tak terbatasnya pangan. Sang maha dewa menciptakan kekeringan sampai akhirnya mereka berbalik memohon kepadanya. Lantas Zeus ciptakan hujan untuk membuat lahan tak pernah lagi mengering. Sayangnya manusia belum tau kapan hujan akan turun hingga akhirnya Promotheus mengajak Epimetheus membuat kain wol berwarna kelabu dari bulu domba yang akhirnya dibentangkan kelangit ketika hujan akan turun sebagai pertanda bahwa hujan akan membasahi seketika. Zeus yang marah dengan ulah mereka, membuat Promotheus menjadi matahari dan Epimetheus menjadi bulan. Zeus tidak ingin membuat mereka bersatu lagi selamanya. Hingga akhirnya senjalah yang menjembatani pergantian mereka.

Saya dan kamu tak pernah lelah membuat dongeng-dongeng baru yang tak pernah tersimpulkan pada ujungnya. Saya dan kamu seperti beriring senja dan hujan. Terasa begitu nikmat ketika senyap merangkul pundak. Saya dan kamu tak lebih dari pengecut yang berlari terbirit-birit ketika langit mendung karena takut hujan akan turun lebat dan mengguyur sekujur memori. Saya dan kamu akan selalu bersatu karena kata penghubung, namun tidak pernah menjadi satu padanan kata baru.

Saya tahu, kamu pun sepakat. Kita memang tidak pernah memulai untuk berangkat.



Comments

Popular Posts