Malam Nan Buntu

Aku ingat kali pertama menoreh cat melalui kuas yang lantas kupoleskan dari jemari yang seakan menari. Rasanya seakan pertama kali kau belajar menari balet. Berusaha menjinjitkan kaki tanpa peduli suatu saat bisa saja hal tersebut mencideraimu seketika. Berusaha menyeimbangkan tubuh dan pikiranmu, melangkah dan belajar berputar. Melenggak lenggokan pinggul dan mencoba menyesuaikannya dengan irama yang saling bertautan. Beriringan dengan isi kepalamu yang mengalir lembut melalui gerakan yang indah. Mencoba berkali-kali untuk melompat seakan kau mampu terbang melintasi tiap sudut pikiranmu yang melanglang buana entah kemana. Gerakan yang selembut ketika kau bernafas. Merasakan tiap udara yang menyentuh halus pori-pori kulitmu ketika kau bertubi-tubi berputar. Mendengar bisik lantunan musik yang menyapa manis di telinga. Kau begitu hanyut dalam langkah lunglai dan jemari lentik yang merekah. Begitu indah dan tenang hingga kau merasa seperti bersama nebula, Ditemani bintang dan warna yang berpendar.

Segala sesuatu yang kau mulai dengan hati selalu berteman dengan isi dikepalamu tentang banyak hal. Seperti ada pipa kecil yang berdesakan terpasang dari hati, melintasi ribuan saraf melewati isi kepalamu dan akhirnya bermuara pada sistem motorik ditubuhmu. Mungkin begitulah cinta. Menerobos masuk kedalam tiap sel dikepalamu dan menembus batas nalar hilang berujung pada prilaku yang tak terkendali. Seperti ketika kumencoba melukiskan tiap perasaan yang kugambarkan pada tiap rangkaian video yang terputar sepotong demi sepotong dikepalaku pada kanvas putih. Menyampaikan rasa melalui kenangan agar tercipta garis yang beradu dengan warna. Tenggelam begitu dalam hingga tak sadar tanganku berdansa dengan kuas itu dan tak mengenal waktu. 

Aku dan melukis. Seperti seseorang yang sedang jatuh hati. Seperti Leander dari Abidos di Misia, yang begitu mencintai Hero, pendeta wanita untuk Aprodhite. Melukis bagiku seperti bernyanyi dari hati, tak peduli seakan tuli. Tidak perlu malu dinilai, karena tak satupun yang mendengar, melihat atau bahkan berpikir. Bising namun samar-samar. Seperti isi kepala yang letaknya begitu dekat dengan telinga, hingga terdengar berbisik meskipun berteriak begitu kencang. Berbahagialah tiap insan yang jatuh hati. Karena bahagia tidak melulu mampir dan menetap. Sesekali ia pergi dan mungkin suatu saat kembali. Begitulah yang Tuhan mutlak berikan. Selalu ada kebalikan dari sebuah kebaikan. Selalu bergantian. Adil menurut bahasa manusia yang kerap bercakap dengan Tuhan. Adil atas ketidakadilan. 


Sore ini, aku bahkan tak mampu melukis senja. Kepalaku menolak untuk bersinergi dengan apa yang hatiku coba untuk jelaskan. Kubiarkan asap terisap dan mengepul, serta mata yang menatap kosong kanvas. Aku seperti Menelaus yang mencoba bertanya arah pulang kepada Lelaki Tua di Laut. Entahlah. Mungkin aku hanya perlu bertemu kantuk. Bukan bintang yang bergantung dikaki langit atau bulan yang selalu mengajak bercengkrama.


Mungkin.

Comments

Popular Posts