Dear Santa

Langit masih enggan berhenti membasahi jalanan. Padahal semalaman para katak tak kunjung berhenti bernyanyi dan menari berbahagia. Matahari pun segan bersinar benderang. Hujan menyisakan simpul pelangi di ufuk timur, menciptakan senyum pada tiap manusia yang berlalu lalang melihatnya pagi ini. Setidaknya, mereka sejenak merasa senang. Karena natal di musim penghujan tak lantas membuat manusia yang percaya akan kedamaian atas lahirnya sang juru selamat seketika menjadi pemelihara sendu.

Hujan kerap membuat jengah namun menenangkan. Jengah karena akan merepotkan banyak orang yang harus beraktivitas di luar ruangan, namun menenangkan karena rintik gerimis terdengar seperti denyut halus yang menghanyutkan seribu gusar. Setidaknya itu kata mereka.

Tidak pernah dan tidak akan pernah ada salju di kota ini, baik saat natal ataupun tidak. Santa Claus mungkin tidak akan pernah mampir untuk bersenandung dengan delusi di kepala manusia yang percaya kepadanya, atau mungkin orang-orang di kota ini sudah cukup merasa bersukur dan berbahagia menjadi bagian dari distopia. Tak akan ada 8 rusa kutub yang mengantar Santa Claus, bahkan tak ada satupun rumah disini yang memiliki cerobong asap kecuali gudang dan pabrik. Tidak akan ada anak-anak yang menaruh jerami pada sepatu mereka dan menaruhnya dibawah cerobong asap sembari berharap permen dan coklat di pagi harinya. Tidak disini. 

Namun, seharusnya Santa Claus tidak melulu berbadan besar berjubah merah dan dipanggil Santa Claus. La Befana di Itali menyelinap dan membagikan hadiah melalui cerobong asap dan digambarkan sebagai seorang penyihir tua. Tomte di Skandinavia berbentuk manusia kerdil yang juga memberi hadiah pada anak-anak lewat cerobong asap. Kelompok Yule di Islandia terdiri dari 13 manusia kerdil yang memberi hadiah di dalam sepatu anak-anak yang berprilaku baik selama 13 malam menjelang natal dan hanya memberi kentang untuk anak-anak nakal.

Lantas, siapa Santa Claus di kota ini?

Kota ini terlalu njelimet untuk sebuah diskusi delusi. Manusia disini sibuk mengurusi realita sehingga terkadang lupa untuk meminta. Bukan tentang mitos, namun tentang meyakini sebuah harapan. Kota ini seperti terbiasa untuk meniadakan harapan tetapi tidak pernah kenyang untuk meneriakan keluhan. Santa Claus dan sejuta ilusi tentang keyakinan serta ratusan juta manusia jumawa.


Dear Santa,

Mereka bilang memohon secara tertulis adalah konyol. Kenyataannya, memohon pada siapapun atau apapun yang diyakini dan dianggap empunya pewujud harapan bisa dilakukan dimana saja dengan cara apa saja dan melalui media apapun. Siapa yang berhak melarang cara manusia berkomunikasi selama itu tidak merugikan banyak pihak? Mereka memang selalu (merasa) lebih pintar, itu saja dan mereka sudah (merasa) berkecukupan.

Comments

Popular Posts