Elegi Kata

Saya masih sibuk berdiri disamping jendela apartemen memandangi lalu lintas yang tak kunjung bergerak semenjak 30 menit yang lalu. Hujan yang membasahi jalan berbias dengan lampu rem para pengendara yang berdesakan ingin segera sampai tujuan. Lampu lalu lintas berdiri kokoh tanpa seorang petugas pun yang membantu mengatur riuh ramainya lalu lintas. Aku seperti mendengar lirih kekesalan para pengendara yang berharap pembangunan di kota ini segera rampung, hingga mampu, setidaknya, mengurangi kemacetan yang membuat pecandu waktu tak lagi terbirit-birit menanggapi janji.

Sesekali saya menyeruput teh yang berada dalam cangkir digenggaman saya. Sesekali pula saya menatap nanar keujung langit yang tak kunjung berhenti mencurahkan air hujan seharian. Sesekali juga saya mencoba menyelinap masuk kedalam isi kepala saya yang sesak dan berharap untuk membuatnya tenang sejenak dengan menghela nafas panjang.

Sayangnya ini bukan kunang-kunang di Manhattan. Kota ini terlalu lama untuk saya diami hingga tak urung jenuh dan jengah menjadi santapan lumrah yang tak lagi saya keluhkan. Saya nyaris kehilangan alasan untuk menjadi kerasan atau mencoba mencari setitik keindahan diantara kepenatan yang terlanjur jumawa. Saya terlanjur muak dengan kota, isinya dan kenangan yang memenuhinya.

Detik jam dinding mampu saya dengar dan membuat saya selalu tersadar bahwa waktu tak akan membiarkan waktu itu sendiri berhenti meskipun semua orang disini kelelahan untuk melakukan apa-apa. Saya menunggunya pulang dengan seribu kegelisahan dan segudang pertanyaan di benak yang tak pernah mampu ia jawab. Setiap pertengkaran selalu berakhir dengan hal serupa. Saya yang ia anggap tidak pernah mampu untuk memahami dan saya yang beranggapan bahwa ia tak pernah mampu menjadi dirinya sendiri karena takut melukai saya. Hasilnya, ialah diskusi yang bias dan kelelahan yang membuat masing-masing dari kita akhirnya tertidur, mendengkur dan berliur.

Akhirnya saya dan dia tidak pernah naik kelas karena mampu berdiskusi namun selalu gagal dalam menemukan solusi. Akhirnya saya dan dia selalu akan mempertanyakan hubungan ini dalam senyap di benak dan hati masing-masing. Akhirnya memang tinggal menunggu untuk akhirnya kami sama-sama menyerah atau mungkin malah sebaliknya. Entah.

----

"Apa yang sebenarnya mengganggumu?"

"Ragu"

"Lantas apa yang dapat aku lakukan?"

"Yakinkan aku dengan yakin terhadap dirimu atas apa yang kamu lakukan"

"Bicaramu begitu limbung"

"Tidak akan terasa begitu jika kamu mau sebentar mengalah"

"Apa yang harus kukalahkan?"

"Egomu"

"Kamu sulit untuk dimengerti"

"Here we go again..."

----

Saya dan segala kekurangan saya membuat saya ragu atas pemenuhan keinginanmu. Saya dan ketidak mampuan saya membuat saya takut bersaing dengan kemauanmu. Saya bahkan nyaris lupa tentang apa yang saya mau. Saya dan kamu tak menjadi diri kita masing-masing karena ternyata komunikasi yang terbangun kerap gagal karena masing-masing dari kita tak mampu menyelaraskan lidah, hati dan kepala.

Semua menjadi njelimet, padahal saya dan kamu hanya perlu berkata,


"....."





Comments

Popular Posts